Sabtu, 31 Juli 2010

OTONOMI DAERAH KABUPATEN SIKKA

Seiring dengan berjalannya reformasi (12 tahun) telah terjadi perubahan secara menyeluruh disegala sektor kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masa reformasi dengan transisi demokrasi yang dinilai lebih mampu memberikan kebebasan kepada seluruh elemen masyarakat akhirnya membuka segala bentuk diskriminasi yang kerap terjadi pada masa Orde Baru (ORBA). Perubahan yang terjadi pada semua bidang kehidupan seperti, ekonomi, politik, hukum, budaya, dan tata kelola pemerintahan. Perubahan tata kelola pemerintahan yang cenderung sentralistik (desentraslisasi) pada masa orde baru, telah mengalami perubahan yang cukup berarti dengan diberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada pemerintahan daerah untuk mengelola segala bentuk sumber-sumber daya daerah sesuai dengan kebijakan-kebijakan daerah, hal ini sebagai buah dari konsep dekonsentrasi.

Pengelolaan pemerintahan daerah dari desentralisasi ,menjadi dekonsentrasi telah menghadirkan sebuah bentuk partisipasi langsung dari seluruh elemen masyarakat. Masyarakat sebagai bagian dari komponen Negara, harus dilibatkan secara utuh dan nyata dalam proses pembangunan daerah. Rakyat harus terlibat secara aktif dalam mengawal setiap proses perubahan-perubahan yang terjadi, rakyat harus ditempatkan sebagai pihak pengawas dan penguji dari setiap produk kebijakan-kebijakan daerah. Pembangunan daerah kemudian mampu mewujudkan masyarakat yang sejahtera di semua sendi-sendi kehidupan, makmur, dan berkeadilaan sosial.

Pengelolaan pemerintahan daerah dengan konsep Otonomi Daerah (Otoda) kemudian melahirkan berbagai pemerintahan-pemerintahan daerah baik dari tingkat Propinsi sampai Kabupaten/Kota. Konsep Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi Daerah yang berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU ini, Otonomi Daerah dipahami sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, dan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup, dan berkembang di daerah.


Namun pelaksanaan Otonomi Daerah telah menciptakan masalah-masalah baru didaerah, hal ini sudah tidak sejalan lagi dengan tujuan, hakikat dan manfaat dari otonomi daerah. Berbagai persoalan-persoalan yang sering muncul adalah, tarik ulur kepentingan elit, pembagian kekuasaan, terabaikan kepentingan masyarakat. Ada empat problem utama yang terjadi selama dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, yaitu :
 Pertama : Pudarnya makna Negara kesatuan. Dalam Negara kesatuan, pemimpin Negara adalah atasan para pemimpin dibawahnya. Namun di Indonesia, apakah faktanya memamg demikian? Bagaimanapun para gubernur, bupati, dan walikota untuk terpilih butuh dukungan partai-partai. Realitas ini membuat mereka lebih taat pada pimpinan partai yang mendukung mereka. Walaupun para pimpinan partai tidak memerintah, tapi mereka mengendalikan para gubernur dan kepala daerah yang didukung partai mereka.
 Kedua : Lemahnya jalur komando. Seringkali yang terjadi pada tingkatan elit yaitu, Presiden, Gubernur, dan bupati/walikota berasal dari partai yang berbeda. Kiranya, adalah wajar kalau dengan semua itu jalur komando dari pusat ke daerah menjadi terputus. Kondisi ini mengakibatkan program-program pemerintah pusat tidak berjalan, padahal banyak program yang sangat penting demi keselamatan rakyat.
 Ketiga : Semakin kuatnya konglomeratokrasi. Putusnya jalur komando dalam pemerintahan di Indonesia terasa sangat ironis jika melihat kekuatan komando di partai dan perusahan. Partai dan perusahan umumnya bersifat sentralistis. Dengan melihat bahwa pemerintahan di Indonesia terpecah-pecah, pemimpin pemerintahan butuh dukungan partai, dan partai butuh dana yang umumnya mengandalkan dukungan para konglomerat, maka bias disimpulkan bahwa konglomerat merupakan subjek atas partai dan partai merupakan subjek atas pemerintahan. Berarti yang berkuasa adalah para konglomerat.
 Keempat : Terabaikan urusan rakyat. Parameter keberhasilan adalah ukuran korporasi, bukan ukuran kesejahteraan raakyat. Rakyat hanya menjadi bahan jualan untuk kepentingan elit dalam pembagian kekuasaan. Kenyataannya, lebih 70 juta rakyat miskin (angka kemiskinan merupakan hitungan kesejahtraan). Indonesia memang negeri yang sangat aneh. Rakyat semakin merasa jauh dengan akses pelayanan publik, kesejahtraan rakyat semakin terabaikan, konflik horizontal di antara masyarakat. Itulah buah dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.

Konsep pelaksanaan Otonomi Daerah adalah melakukan pemekaran wilayah daerah. Pemekaran daerah adalah pemecahan status wilayah tertentu sebagai daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota.


Adapun kriteria pemekaran daerah antara lain : kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Salah satu prosedur pemekaran daerah yakni ada kemauan politik dari pemerintah daerah dan masyarakat yang bersangkutan. Ada pernyataan masyarakat melalui LSM-LSM, Organisasi-organisasi politik, pernyataan Gubernur, Bupati/Walikota yang bersangkutan, selanjutnya dituangkan secara resmi dalam bentuk persetujuan tertulis baik melalui kepala daerah dan DPR yang bersangkutan.

Seusai pertemuan konsultasi di Istana Negara, Presiden Susilo Bambang Yodhoyono, mengungkapkan mayoritas persisnya 80% dari 205 daerah pemekaran baru, selama sepuluh tahun terakhir, justru kurang berhasil. Daerah otonom baru dinilai justru menimbulkan masalah baru. Presiden pun menegaskan sikapnya untuk tetap melanjutkan moratorium pemekaran wilayah.

Berakhirnya kekuasaan Orde Baru telah mengubah sistem pemerintahan sentralistik menjadi desentraliasasi, system politik pun menjadi lebih terbuka dan demokratis. Berbarengan dengan itu, pemekaran wilayah pada level propinsi maupun kabupaten/kota menjadi sebuah efuhoria politik baru. DPR pun giat membahas undang-undang yang memuat substansi pemekaran wilayah. Dalam sepuluh tahun terakhir (1999-2009) terbentuk 7 propinsi baru dan 205 kabupaten/kota baru. Kini Indonesia memiliki 33 propinsi dan 491 kabupaten/kota. Bandingkan dengan Orde Baru yang terdiri dari 27 propinsi dan 291 kabupaten/kota. Walaupun Pemerintah, Dewan Perawakilan Daerah dan Dewan Perawakilan Rakyat ingin melaksanakan moratorium, namun pemekaran wilayah masih terus terjadi. Pada tahun 2003 tercipta 49 kabupaten/kota hasil pemekaran, kemudian bertambah lagi 25 kabupaten/kota baru pada tahun 2007, 30 kabupaten/kota pada tahun 2008 dan pada tahun 2009 bertambah 2 kabupaten/kota hasil pemekaran wilayah.

Hasil penelitian Litbang Kompas pada tahun 2008 menunjukkan, dari 233 daerah, baik induk maupun pemekaran, yang dikaji, hanya 28% daerah yang mengalami kemajuan, baik daerah induk maupun daerah pemekaran. Dengan kata lain, harapan rakyat mendapatkan kemajuan bidang ekonomi, sosial, infrastruktur belum nyata hasilnya. Kita tak menutup mata atas hasil pemekaran wilayah yang berhasil meningkatkan kesejahtraan rakyat. Namun, harus dilihat secara kritis. Kita tak ingin pemekaran wilayah dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pendekatan kekuasaan dan pada akhirnya hanya akan menciptakan raja-raja kecil di daerah yang tidak punya pengabdian kepada rakyat dan daerahnya.



Wacana pemekaran wilayah dengan nafas otonomi daerah bergulir hampir diseluruh daerah di Indonesia. Terkadang wacana pemekaran daerah hanya terjadi ditingkatan elit kekuasaan lokal dan elit pusat. Masyarakat yang seharusnya menjadi prioritas utama pemekeran daerah tidak dilibatkan secara aktif dalam mempersiapkan proses pembentukan daerah baru tersebut. Sesuai dengan semangat otonomi daerah, seharusnya proses pembentukan daerah baru harus berdasarkan aspirasi dari seluruh elemen masyarakat, guna peningkatan pelayanan publik yang lebih merata. Peningkatan status Kabupaten/kota sekarang menjadi wacana yang menyita seluruh perhatian elemen masyarakat Kabupaten Sikka. Peningkatan status Kabupaten Sikka menjadi Kotamadya Maumere telah digulirkan oleh Pemerintah Daerah.

Kabupaten Sikka dengan ibukota Maumere adalah salah satu kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak di arah timur Pulau Flores. Secara administratif Kabupaten Sikka berbatasan langsung dengan Kabupaten Ende, Ngada dan Flores Timur. Kabupaten Sikka terdiri dari 21 kecamatan yang meliputi 160 desa dan 13 kelurahan , dan mempunyai luas wilayah 7.552,91 Km2 yang terdiri dari 1.731,91 Km2 luas daratan dan 5.821 Km2 luas lautan. Kabupaten Sikka juga terdiri atas beberapa pulau sedang dan kecil yaitu Pulau Babi/Bater,Pangabatang, Kambing, Pemana Besar, Palue, dan Sukun.
Peningkatan status Kotamadya Maumere berjalan begitu cepat.Seperti yang dinyatakan oleh Bupati Kabupaten Sikka Drs. Sosimus Mitang bahwa “Peta administrasi dan hal teknis terkait pembentukan kota maumare dan pemindahan ibu kota kabupaten sikka sudah final. Disamping peta administrasi dan hal teknis terkait pembentukan kota maumare dan pemindahan ibu kota kabupaten sikka sudah final selanjutnya bahan yang telah disiapkan di tingkat kabupaten dan provinsi akan diteruskan ke pusat untuk diproses lebih lanjut” (Selasa. 12 Juli 2010, di Kupang, Radio Sahabat FM).

Dalam pembangunan di setiap daerah pendekatan pelayanan publik menjadi sebuah keharusan. Pembangunan tentunya ditujukan kepada masyarakat secara keseluruhan. Rakyat harus menjadi pengontrol yang ketat terhadap setiap kebijakan-kebijakan pemerintah daerah. Proses pembentukkan daerah baru haruslah di lihat yaitu, urgensinya pemekaran wilayah, persiapan sebuah daerah dari segi infrastruktur, sarana transportasi yang memadai, kesiapan masyarakat dalam pembangunan terhadap daerah baru. Wacana pembentukan Kotamadya Maumere belum sepenuhnya berasal dari aspirasi masyarakat Kabupaten Sikka, dengan kecenderungan bahwa wacana ini hanya terjadi di tingkatan elit kekuasaan.





Kemudian akan muncul berbagai pertanyaan-pertanyaan otokritik yang harus di jawab yaitu : Wacana pembentukkan Kotamadya Maumere adalah buah aspirasi dari seluruh elemen masyarakat Kabupaten Sikka atau Wacana di Tingkatan Elit Kekuasaan Lokal?, Apakah betul secara sosial, ekonomi, politik, budaya masyarakat Kabupaten Sikka sudah siap dengan Pembentukkan Kotamadya Maumere?, Apakah layak Kabupaten Sikka menjadi Kotamadya Maumere dengan segala kekurangan dan kendala yang dihadapi dalam pembangunan daerah?, Bagaimana partisipasi setiap LSM-LSM, Organisasi Masyarakat, Organisasi Mahasiswa dan Tokoh-tokoh Masyarakat dalam pembentukkan Kotamadya Maumere?.

Dengan berbagai persoalan-persoalan yang selalu terjadi dalam pemekaran wilayah maka menjadi sebuah keprihatinan bersama yang perlu dicarikan solusi-solusi yang tepat, sehingga proses pemekaran wilayan atau daerah menjadi tepat sasaran, efektif dan efisien. Perlu adanya ruang diskusi ilmiah, kajian-kajian yang bersifat aspiratif dan solutif sehingga menjadi sebuah perdebatan yang ilmiah dan menempatkan kepentingan masyarakat diatas segala-galanya. Dengan melihat latar belakang masalah pemekaran daerah sesuai dengan Otonomi Daerah, maka Himpunan Mahasiswa Maumere-Makassar (HIMMAM) sebagai bagian masyarakat daerah Kabupaten Sikka mencoba untuk meletakkan wacana ini kedalam sebuah diskusi yang ilmiah guna menyatukan seluruh persepsi, ide dan kesepakan (konsessus) bersama antara komponen masyarakat di Kabupaten Sikka. Dan dalam forum ilmiah ini didapatkan bahawa tujuan utama pemekaran wilayah atau peningkatan status dari Kabupaten Sikka menjadi Kotamadya Maumere adalah pendekatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat dan peningkatan kesejahtraan masyarakat yang adil, makmur dan merata di semua bidang kehidupan. Semoga Ini Menjadi Kenyataan